Haana Islamidina
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Tulis, 22 Januari 2013

Pada memori ini masih berjejak langkah kita yang pernah padu dalam merangkai sebuah kisahan. Sungguh lucu mengenang segalanya yang terjalin konyol dan lugu. Saat itu terlalu dini usiamu dan kau adalah lelaki baik di mataku. Ingin sekali lagi menggenggam mesra tanganmu seperti waktu lampau kita menjalin hati. Terimakasih atas apa yang kau berikan kepadaku. Segala hari kau lewati denganku, amarah dan kekonyolan yang selalu aku suguhkan setiap hari sedari kita bertalian tidaklah membuatmu menghardikku. Kala itu, sangatku kagumi kegigihanmu untuk terus bersamaku.
Tahukah kau? Aku menyesali segalanya.
Bukan menyesal atas jalinan kita yang pisah. Namun, aku menyesali diri akan segala cacian yang pernah terteriak lewat mulut yang harusnya di bungkam ini.
Maaf untuk ketidaksopanan bibir yang pernah menghardikmu. Patut bila sekarang kau merenggangkan jarak diantara kita.
Tidak seharusnya aku memperlakukanmu sedemikian rupa, kesalahan ada pada diriku. Tidak menjagamu sebaik mungkin hingga hubungan kita berakhir begitu saja. Masih terngiang jelas di masjid SMA, aku melihatmu dengan wajah yang beramarah dan raut yang telah lelah dalam menangani tingkahku yang kekanakan. Lantas kita putuskan untuk berakhir.
            Awalnya ku kira kita akan kembali lagi bersama, kau akan meraih tanganku dan meminta kembali. Batin ini berbisik bahwa kau tidak akan jenuh padaku.
Namun, kenyataan pun berkata lain. Aku mulai sadar, bahwa kau mulai mempermainkanku, berbalik membalas segala yang pernah kulakukan.
Mungkin labil dan terlalu murka saat itu. Namun, itu bukan salahmu dan memang itu hakmu. Karena aku bukan siapa-siapamu yang bisa membatasi gerakmu. Jadi, dengan siapapun kamu, harusnya aku menerimanya dan berbahagia atas apa yang kau jalani. Bukan menanyakan kenapa kamu melakukan itu? Ya, aku salah karena membiarkan bunga ini mekar menjadi cinta saat kau melenyapkan hati untukku, kala itu rasanya seperti tamparan.
Ingatkah study wisata di Bali? Ku kira hubungan kita akan membaik lagi.
Mungkin kamu tidak mengetahui hal ini!
Sepulang dari study wisata di Bali, aku terus memikirkan apa kita akan saling bergandengan lagi.
Ada niat untuk rujuk kembali, menenun ulang kisahan, dan terlintas dalam hasrat akan dirimu yang menjadi sosok baik, yang mampu mengayomi langkahku untuk menjadi perempuan yang kelak menjadi penyongsongmu menuju kata “sukses”, aku ingin kita saling menguatkan, lebih akrab, dan saling terbuka kedepannya.
Bukan diriku jual mahal untuk mengiyakan sikapmu yang menguraikan isyarat agar aku kembali bersamamu. Namun, aku hanya ingin berfikir lebih matang tentang keputusan yang akan ku ambil. Bahkan, aku mengumpulkan tekad untuk menceritakan segala lara yang menginjak hidupku, yang tidak kau tahu selama mengenalku.
Namun, segalanya sia-sia setelah telinga ini mendengarmu bermain hati dengan orang lain yang tidak lain adalah temanku. Mungkinkah kau tahu rasanya sakit yang menggelegar di hari itu? Aku terus berkata baik dan pura-pura untuk tidak kehilangan. Kubilang pada semua temanku bahwa aku tidak merasa sakit hati.
            Andai kamu tahu, aku menginginkan sesuatu yang lebih untuk hubungan kita kala itu. Ku harap kamu menjadi lelaki yang baik untukku. Tapi, fakta telah mengungkap bahwa kau telah menyerah, lelah, dan bosan untuk bertahan menunggu hatiku luluh. Kau mengoyak hatiku dengan cara yang halus.
Kini segalanya telah berlalu terhempas waktu. Lampau adalah kenangan yang patut kita simpan. Baik dan buruk yang terangkum adalah sebuah catatan bersejarah untukmu dan aku.
Semoga waktu mempertemukan kita dalam keadaan yang baik dan jika saat itu tiba, aku ingin kau tersenyum sambil mengingat hal baik dariku.
Sungguh di hari ini, aku masih merapalkan doa untuk langkahmu. Jodoh kita mungkin hanya sebentar sebagai pasangan, dan jika mungkin kau berkenan aku ingin menjadi seorang teman/saudara bagimu. Masihkah pintumu kau buka untuk menerimaku sebagai seorang teman/saudara? Semoga jika kau membaca tulisan ini, hatimu mengharu, mau memaafkan dan berkenan menerimaku kembali menjadi seorang teman/saudara.
Sujudku menyertakan namamu, kelak bersama siapapun dirimu, doa ini akan terus merapal untuk kebahagiaanmu. Maafkan segala khilaf lampau yang kubuat. Kau akan terus mekar dan merekah indah di dalam cerita yang menyejarah bagi kehidupanku.
Siratan tangan ini mengungkapkan ikhlas atas segala yang sudah terjadi. Semoga kau bahagia dengan hidupmu, begitu pun aku disini.
Sekali lagi terimakasih untuk cinta, waktu, dan pengorbanan yang pernah kau torehkan.


Tertanda,



Diyah Ayu Saraswati