Haana Islamidina
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Cerpen perdana saya, silakan di kritik habis-habisan!
 
Oleh : Diyah Ayu Saraswati – Tulis, 1 februari 2013

Pada tanganku, aku berdzikir dengan genggaman erat tasbih untuk menghitung tiap-tiap perapalan bacaan doaku.
sedang engkau  menghitung doa dengan rosario yang akrab kau jadikan aksesoris pengaitmu pada Tuhan yang kau segani, tentunya bersama alkitabmu.
Sungguh iman kita telah berbeda!
Namun, pada hati kita berdegub cinta. Egokah kita jika menerjang pembatasnya?
Dalam malam aku bersimpuh pada sujud istikharahku dan kutemui jawab pada mimpi yang mengisyaratkan engkau bukanlah jodohku.
“Lihatlah sederetan orang di depan sana, mereka menentang kita! Jadilah itu satu tenggan-tenggan teguran, untuk kita lekas merelakan hati, memahami kondisi!” Ujarku.
Sebelum terlanjur menjalar, baiknya kisah  ini kita tinggalkan demi kebaikkan semua.
Mimpiku bukanlah bunga tidur yang sekedar mampir, Gabriel. Mimpiku adalah jawaban istikharahku dari-Nya.
Engkau tetaplah pada keyakinan-Mu, Tuhan-Mu. Bawalah segala cinta yang pernah kita urai dalam kenangan.
Berjalanlah tanpa menatap kisah kita lagi, Gabriel.
Kini aku tetap kukuh  pada dalil yang tersirat dalam agamaku; “aku  muslimah dan dengan jilbab ini aku berserapah tidak akan menanggalkan agamaku hanya untuk merengkuhmu.”
***
            Lelaki muda dengan senyum tersipu mengambilkan sapu tanganku yang tidak sengaja terjatuh. Ya, itu awal mula perkenalanku dengan Gabriel. Kami cukup akrab dengan obrolan pertama yang menjadikanku acap berkomunikasi dengannya. Dia mahasiswa di kampusku dan seorang aktifis kampus, juga salah-satu lelaki yang digandrungi perempuan di kampusku. Namun, aku tidak terlalu mencermatinya, aku bukan aktifis kampus, tidak populer, dan hanya wanita yang menyibukkan diri untuk mengejar gelar pendidikan secepat mungkin, panggilanku Ifah.
Belakangan aku mengetahui Gabriel non muslim. Dia seorang kristiani, aku melihat salib yang melingkar sebagai aksesoris handphonenya. Mulanya, aku mengira aksesoris itu tidak bermakna apapun. Sungguh aku tidak menyangka bahwa Gabriel yang aku kagumi saat ini adalah seorang non muslim.
Jujur, aku mulai menaruh harapan pada Gabriel dan aku mengira dia pun mempunyai perasaan yang sama. Hari pun terus membawa aku dan Gabriel pada pengakraban, dan tibalah detik ini. Di taman dekat kampus, Gabriel mengungkapkan isi hatinya. Bagai tanggul yang jebol, aku tidak bisa mengontrol nafsu hati yang terus berkecamuk, sesegera mungkin aku ingin meluapkannya dengan menjawab isi hati Gabriel.
Jantungku berdebar-debar melihat mata tulusnya.
Tangan Gabriel mengarah pada jemariku, sembari dia berlutut. Ternyata dia lelaki yang romantis.
Mataku dan matanya kian bertemu dan saling menatap. Bahkan, nafasku serasa hilang sejenak.
“Bagaimana, Ifah? Apa kau menerima cintaku? Atau kamu butuh waktu untuk memikirkan hal ini?” ucap Gabriel sembari menggenggam erat tanganku.
“Iya, Gabriel aku menerimamu. Jadi, sekarang kita pacaran.” jawabku tanpa pikir panjang sembari senyum merangkai kisahku hari itu.
Seperti terhipnotis saja, cinta yang datang seakan memaksa hati ini untuk berkata jujur. Mungkin, aku takut kehilangannya. Padahal, aku mengetahui Gabriel tidak seiman denganku. Kami melalui hari-hari yang indah dan penuh kedamian walau pun perbedaan agama nyana menjadi jurang. Ya, kami hanya berbekal pengertian tanpa berfikir kedepannya. Aku menghargai agamanya, begitupun Gabriel kepadaku, begitulah kami. Segalanya berjalan dengan baik sebelum akhirnya keluargaku bertanya jauh tentang seluk-beluk Gabriel.
***
Aku pun menceritakan segalanya pada ayah dan ibu, serta mas-masku.
Dengan amarah, ayah mengujariku dengan perkataan kerasya.
“Ifah, putuskan Gabriel. Masih banyak lelaki muslim yang tampan dan baik diluar sana. Jangan, engkau kotori agama kita jika harus bersanding dengan dia. Kalian tidak mungkin bisa menikah. Apa kamu pikir Gabriel mau menjadi seorang mu’allaf? Apa keluarganya akan memperbolehkan? Sadarlah, nak. Pahami keadaan yang ada.”
Mereka serentak melarangku untuk berhubungan dengan Gabriel dikarenakan perbedaan agama. Apalagi, mengingat bahwa aku adalah seorang wanita. Islam mengharamkan wanita untuk menikah dengan laki-laki non muslim, terkecuali pada laki-lakinya, islam memperbolehkan laki-laki untuk menikahi wanita non muslim dikarenakan laki-laki merupakan imam atau pemimpin dalam rumah tangganya kelak, yang kemudian membimbing dan mengarahkan, dan mampu membawa wanitanya untuk memeluk agama islam sehingga halal menjadi penyatu dalam penikahan. Begitulah dalil yang terdapat dalam Al-Quran dan hadis agama islam.
Aku menemui Gabriel dan mengeluh padanya perihal masalah ini. Kami adalah sepasang muda-mudi yang terhempas angin, tidak tahu harus berjalan kemana dan mengadu kepada siapa. Gabriel tidak mungkin menjadi Islam, keluarganya tidak mengizinkannya. Namun, kami masih saja mencari jalan keluar, terutama Gabriel yang tidak rela jika harus melepaskan kisah cinta ini.
Gabriel memberiku puisi yang dikirim melalui sms. Puisinya berjudul Apakah tasbih dan salib tidak layak untuk dipersatukan. Puisinya merajam hati, memacu air mataku untuk turun.
Wanitaku, kau berjilbab dan aku mengetahui status agamamu
Sungguh, aku telah mengetahuinya. Namun, apakah perbedaan kita menjadi cercaan bagi pertalian ini. Salahkah cinta kita?
Dalam hubungan mengapa agama menjadi pembatas?
Cinta tapi beda!
Itulah kisah ini, satu cinta namun dua dunia
Mungkin pengandaiannya demikian.
Aku melipat tangan
Kamu bersujud!
Ini sudah pembeda yang jelas.
Merasakan kah Tuhan pada kita?
Oh, wanitaku ... aku ingin bersanding denganmu.
Apa tasbih dan salib tidak layak untuk dipersatukan?
Semoga ini bukan jurang.
Rangkaian kata yang bernyanyi sedih dalam sms yang dikirim oleh sinyal-sinyal yang teriringi hujan dan air mata yang seakan tumpah dari bejana hatinya, tidak lantas membuat hasratku untuk membalas pesan tersebut. Dan aku mendengar sebisik suara yang menyuruhku untuk sholat istikharah. Entah darimana gerangan sebisik suara ghaib tersebut.
***
Sudah dua hari aku tidak menemui Gabriel, tidak pula membalas sms atau menerima telfon darinya. Aku hanya ingin menenangkan diri walaupun hati ini tidak tega melihat setumpuk miscall dan sms darinya. Dimalam ini aku terbangun dari tidurku, suara ghaib itu muncul kembali dan berbisik beberapa kali.
“Cah ayu, ambil wudlu dan bergegaslah untuk meminta petunjuk pada-Nya melalui sujud istikharahmu” ujar bisikan ghaib itu berulang-ulang.
Aku pun melihat jam, waktu menunjukkan pukul 00:25, seketika aku pun bangkit dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudlu. Dengan khusyuk aku bersimpuh dalam sholat istikharah, aku memohon jalan yang terbaik dari-Nya. Setelah istikharah hatiku merasa damai dan ada keikhlasan yang kurasa.
Bunga mimpi mendatangiku, terlihat dalam mimpi potongan-potongan kisahku dan Gabriel disetel disebuah pemutar dan berdirilah seorang nenek yang menontonnya dan berbicalah dia kepadaku yang saat itu berdiri disampingnya.
“Itu adalah gambaran hidupmu, nak? Sepasang sejoli yang dimabuk cinta. Aku ingin bertanya kepadamu, apa kamu mencintai lelaki itu? Seberapa besar? Lebih besar cinta kepada Gabriel atau kepada Tuhanmu? Jilbabmu adalah penutup auratmu, bukti kesungguhanmu kepada Tuhanmu yang esa, Allah SWT. Aku yakin kamu dapat mengambil keputusan yang terbaik, nak. Segeralah putuskan!” ucap nenek tersebut.
Lantas aku pun tergugah dari mimpi itu. Perkataan nenek dalam mimpi membuatku mampu memilih. Mungkin mimpi semalam berkaitan dengan istikharah yang kujalani, gusar yang meradang batin selaksa lepas. Ikhlas mengiringi langkahku.
Aku pun menghubungi Gabriel dan meminta untuk bertemu di taman dekat kampus tempat yang paling bersejarah yang menorehkan jejak pertalian hati kami, Gabriel pun mengiyakan permintaanku untuk bertemu. Dan aku mengumpulkan nyali untuk membicarakan hubungan yang sudah terjalin seumur jagung ini.
Terlihat di taman Gabriel sudah datang terlebih dahulu dan kulihat dia menggenggam mawar sembari senyum dia simpulkan untukku. Melihatnya begitu manis, terlintas perasaan sedih singgah. Namun, aku harus mengatakannya sekarang, aku tidak ingin menunda dan terjerat dalam cinta. Langkahku menuju padanya.
“Gabriel, kau sudah lama menungguku?” tanya ku.
“Tidak begitu lama, Fah. Aku merindukanmu, bagaimana kabarmu? Aku tahu beberapa hari ini kau menenangkan diri. Aku akan selalu mengerti dirimu, Fah.” jawab Gabriel sambil memberikan bunga mawarnya kepadaku.
Dengan menguatkan hati aku berkata;
“Terimakasih mawarnya, sangat indah. Gabriel aku sudah memikirkan segalanya tentang hubungan ini. Aku tidak dapat meneruskannya, aku mencintaimu namun rentetan rintangan tidak akan habis jika kita bertahan. Bukan, aku lelah atau malas untuk berjuang. Agamaku adalah agamaku, dan agamamu adalah agamamu. Kita layaknya air dan minyak, tidak akan pernah menyatu. Dalam agamaku dilarang jika perempuan menikahi lelaki non muslim, kecuali jika lelaki itu menjadi mu’allaf. Ini sulit untuk kita, Gabriel. Banyak yang menentang kita, keluarga, masyarakat, dan agamaku. Cukuplah kita berteman saja, aku ingin menghentikan segalanya selagi rasa yang kita miliki belum cukup pekat. Maafkan aku, Gabriel.”
“Kenapa kamu bicara seperti ini? Kita masih bisa bersama, Fah. Jika kamu mencintaiku, harusnya kamu berjuang” jawaban pasrah terukir pada wajah Gabriel.
Aku menegaskan kembali perkataanku melalui sebuah kalimat;
“Pahamilah Gabriel, aku seorang muslimah”
Itulah terakhir kali perbincangan kami dan segalanya selesai dengan penegasanku.

---TAMAT---
Haana Islamidina
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Tulis, 25 Januari 2013

            Temaram ragamu berdiri di tiang penyangga rumahku, dan hasratmu mengalunkan suara tegas akan kasih yang kau jadikan sebagai cinderamata penantianku. Lembut tanganmu meraihku dengan doa-doa yang selalu merapal pada sujudmu di setiap khusuk sholatmu, dan sebaliknya aku mengamini agar kau menjadi imam yang mampu menghantarkan kaki ku ke surgaNya. Semoga kita mendapati pengijabahan dariNya. Amin.
            Semakin siaga menunggu perihal pertalian kita yang masih dalam proses perestuan tanganNya, yang nampaknya akan dipercepat. Aku duduk dengan penaku menuliskan segala kisah penantian akan dirimu yang merengkuh jiwaku nantinya, tentunya sembari mempersiapkan kebaikkan diri yang pada waktunya akan kusuguhkan padamu. Berbagai bait di tiap-tiap syair mengaksarakan namamu yang masih remang disimpan waktu. Seakan nyata senyum dari bibirmu saat mimpi menguraikan ragamu yang datang dengan lantunan lagu yang mendayu. Kau berbisik dalam lelapku akan surga yang kelak jadi persinggahan kita nantinya, dan kau nyenyakkan diriku dalam pulas malamku, kau mekarkan kehangatan pada mimpi-mimpi yang mengalun dengan lagu mesra.

Malam jadi saksinya
Kita berdua diantara kata
Yang tak terucap
Berharap waktu membawa keberanian
Untuk datang membawa jawaban 

Payung Teduh - Berdua Saja

           Waktu akan segera membawamu untuk menyudahi penantianku. Kutunggu kau dalam puasa penantian, semoga kebaikkan menyertai diriku hingga saatnya kau datang untuk menghalalkan langkah kita. Amin.


Tertanda,



Diyah Ayu Saraswati
Haana Islamidina
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


Tulis, 23 Januari 2013


Angan bersama yang terajut telah usang tanpa terwujud hanya tersimpan dalam torehan cerita di hari ini, dan sekarang menjadi kenangan ingat yang menjelma menjadi rindu-rindu sesaat. Langkah dari jejakmu masih berasa hangat sampai detik ini. Sungguh ku simpan kau tanpa cacat burukmu dan kenangan akan berkata tentang hal-hal baik dari dirimu.
Sedikit senyum tanpa kuncup dari hatiku mengingat tingkah saat cinta menggandeng kita untuk berangkul walau sesaat. Nyana segalanya telah terkilas dan berlalu menorehkan segala rasa yang terjejak sebagai hikayat pada catatan yang mungkin masih bermekaran di alam bawah sadar kita. Perihal kita pada lampau sudah tergenang oleh waktu menjadikan buah kenangan yang terangkai sebagai pelajaran yang menuntun masing-masing dari langkah kita di hari ini untuk mendapatkan kebaikkan dalam merenda dan memilih sebuah cinta dengan sikap yang lebih baik dan mendewasa.
Sehingga doa merapal di bibir hingga kecap dalam meminta pengijabahan dariNya dengan permohonan agar kita mendapat hati yang baik, yang kelak mampu menuntun menuju surgaNya yang agung. Amin

Tertanda,



Diyah Ayu Saraswati


Haana Islamidina
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Tulis, 22 Januari 2013

Pada memori ini masih berjejak langkah kita yang pernah padu dalam merangkai sebuah kisahan. Sungguh lucu mengenang segalanya yang terjalin konyol dan lugu. Saat itu terlalu dini usiamu dan kau adalah lelaki baik di mataku. Ingin sekali lagi menggenggam mesra tanganmu seperti waktu lampau kita menjalin hati. Terimakasih atas apa yang kau berikan kepadaku. Segala hari kau lewati denganku, amarah dan kekonyolan yang selalu aku suguhkan setiap hari sedari kita bertalian tidaklah membuatmu menghardikku. Kala itu, sangatku kagumi kegigihanmu untuk terus bersamaku.
Tahukah kau? Aku menyesali segalanya.
Bukan menyesal atas jalinan kita yang pisah. Namun, aku menyesali diri akan segala cacian yang pernah terteriak lewat mulut yang harusnya di bungkam ini.
Maaf untuk ketidaksopanan bibir yang pernah menghardikmu. Patut bila sekarang kau merenggangkan jarak diantara kita.
Tidak seharusnya aku memperlakukanmu sedemikian rupa, kesalahan ada pada diriku. Tidak menjagamu sebaik mungkin hingga hubungan kita berakhir begitu saja. Masih terngiang jelas di masjid SMA, aku melihatmu dengan wajah yang beramarah dan raut yang telah lelah dalam menangani tingkahku yang kekanakan. Lantas kita putuskan untuk berakhir.
            Awalnya ku kira kita akan kembali lagi bersama, kau akan meraih tanganku dan meminta kembali. Batin ini berbisik bahwa kau tidak akan jenuh padaku.
Namun, kenyataan pun berkata lain. Aku mulai sadar, bahwa kau mulai mempermainkanku, berbalik membalas segala yang pernah kulakukan.
Mungkin labil dan terlalu murka saat itu. Namun, itu bukan salahmu dan memang itu hakmu. Karena aku bukan siapa-siapamu yang bisa membatasi gerakmu. Jadi, dengan siapapun kamu, harusnya aku menerimanya dan berbahagia atas apa yang kau jalani. Bukan menanyakan kenapa kamu melakukan itu? Ya, aku salah karena membiarkan bunga ini mekar menjadi cinta saat kau melenyapkan hati untukku, kala itu rasanya seperti tamparan.
Ingatkah study wisata di Bali? Ku kira hubungan kita akan membaik lagi.
Mungkin kamu tidak mengetahui hal ini!
Sepulang dari study wisata di Bali, aku terus memikirkan apa kita akan saling bergandengan lagi.
Ada niat untuk rujuk kembali, menenun ulang kisahan, dan terlintas dalam hasrat akan dirimu yang menjadi sosok baik, yang mampu mengayomi langkahku untuk menjadi perempuan yang kelak menjadi penyongsongmu menuju kata “sukses”, aku ingin kita saling menguatkan, lebih akrab, dan saling terbuka kedepannya.
Bukan diriku jual mahal untuk mengiyakan sikapmu yang menguraikan isyarat agar aku kembali bersamamu. Namun, aku hanya ingin berfikir lebih matang tentang keputusan yang akan ku ambil. Bahkan, aku mengumpulkan tekad untuk menceritakan segala lara yang menginjak hidupku, yang tidak kau tahu selama mengenalku.
Namun, segalanya sia-sia setelah telinga ini mendengarmu bermain hati dengan orang lain yang tidak lain adalah temanku. Mungkinkah kau tahu rasanya sakit yang menggelegar di hari itu? Aku terus berkata baik dan pura-pura untuk tidak kehilangan. Kubilang pada semua temanku bahwa aku tidak merasa sakit hati.
            Andai kamu tahu, aku menginginkan sesuatu yang lebih untuk hubungan kita kala itu. Ku harap kamu menjadi lelaki yang baik untukku. Tapi, fakta telah mengungkap bahwa kau telah menyerah, lelah, dan bosan untuk bertahan menunggu hatiku luluh. Kau mengoyak hatiku dengan cara yang halus.
Kini segalanya telah berlalu terhempas waktu. Lampau adalah kenangan yang patut kita simpan. Baik dan buruk yang terangkum adalah sebuah catatan bersejarah untukmu dan aku.
Semoga waktu mempertemukan kita dalam keadaan yang baik dan jika saat itu tiba, aku ingin kau tersenyum sambil mengingat hal baik dariku.
Sungguh di hari ini, aku masih merapalkan doa untuk langkahmu. Jodoh kita mungkin hanya sebentar sebagai pasangan, dan jika mungkin kau berkenan aku ingin menjadi seorang teman/saudara bagimu. Masihkah pintumu kau buka untuk menerimaku sebagai seorang teman/saudara? Semoga jika kau membaca tulisan ini, hatimu mengharu, mau memaafkan dan berkenan menerimaku kembali menjadi seorang teman/saudara.
Sujudku menyertakan namamu, kelak bersama siapapun dirimu, doa ini akan terus merapal untuk kebahagiaanmu. Maafkan segala khilaf lampau yang kubuat. Kau akan terus mekar dan merekah indah di dalam cerita yang menyejarah bagi kehidupanku.
Siratan tangan ini mengungkapkan ikhlas atas segala yang sudah terjadi. Semoga kau bahagia dengan hidupmu, begitu pun aku disini.
Sekali lagi terimakasih untuk cinta, waktu, dan pengorbanan yang pernah kau torehkan.


Tertanda,



Diyah Ayu Saraswati